Kuntilanak, sebagai salah satu figur paling ikonik dalam mitologi dan horor Indonesia, telah mengalami berbagai perubahan representasi baik dalam film maupun literatur. Dari sosok yang ditakuti hingga karakter yang lebih kompleks, Kuntilanak terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman.
Salah satu elemen yang konsisten dalam cerita Kuntilanak adalah penggunaan sesajen dan sihir. Sesajen, sebagai persembahan kepada roh, sering kali menjadi titik awal dalam cerita Kuntilanak, sementara sihir digunakan sebagai alat untuk mengendalikan atau berkomunikasi dengan makhluk supernatural ini.
Dalam film horor Indonesia, Kuntilanak sering digambarkan sebagai korban ketidakadilan yang berubah menjadi hantu penasaran. Representasi ini berbeda dengan literatur tradisional di mana Kuntilanak lebih sering dilihat sebagai entitas jahat tanpa alasan yang jelas.
Perubahan representasi Kuntilanak juga mencerminkan perubahan dalam masyarakat Indonesia terhadap hal-hal supernatural. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, beberapa karya modern mulai menggambarkan Kuntilanak sebagai metafora untuk trauma dan penindasan.
Meskipun demikian, elemen tradisional seperti sesajen dan sihir tetap menjadi bagian penting dari narasi Kuntilanak, menghubungkan cerita modern dengan akar budaya dan kepercayaan tradisional.
Kuntilanak dalam film dan literatur terus berubah, tetapi intinya tetap sama: sebagai cerminan ketakutan, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Dari cerita rakyat hingga layar lebar, Kuntilanak tetap menjadi simbol yang kuat dalam budaya horor Indonesia.